Qowaidh Fiqhiyyah kaidah Aghlabiyyah ke 31-35

  1. KAIDAH KE- 31

النَّفْلُ أَوْسَعُ مِنَ الْفَرْضِ

“Sunnah lebih luas cakupannya dibandingkan fardhu”

Sebelum masuk kepada penjelasan kaidah, perlu kiranya mengingat kembali perbedaan antara sunnah dan fardhu pada konteks fiqh dengan tujuan agar kaidah tersebut bisa lebih mudah untuk dipahami.

Sunnah mempunyai makna mengajak kearah sesuatu yang penting dan positif. Dalam terminologi ushul fiqh, sunnah merupakan sesuatu yang pemberlakuannya dituntut oleh syariat, namun tidak dengan tekanan yang tegas. Artinya, seseorang yang melakukan sebuah sunnah akan mendapatkan pahala serta pujian dari Allah SWT, namun jika seseorang meninggalkannya tidak menimbulkan adanya dosa atau siksa dari-Nya.[1] Sedangkan fardhu adalah sesuatu yang dituntut pelaksanaannya secara tegas, yang akan menimbulkan efek jika meninggalkannya akan mendapatkan dosa atau siksa dari Allah SWT.

Dari perbedaan tersebut bisa dilihat atau ditemukan bahwa sunnah merupakan perkara yang lebih luas cakupannya ketimbang fardhu. Ini disebabkan karena dalam aturan perkara yang fardhu itu sudah jelas dan tegas, atau bisa dikatakan tidak bisa diganggu gugat. Tetapi pada perkara yang sunnah terdapat kebebasan atau tidak ada keterikatan yang tegas bagi seseorang. Dengan demikian fardhu merupakan sesuatu yang mesti untuk dikerjakan, sedangkan sunnah merupakan sesuatu yang boleh atau tidak harus untuk dikerjakan. Oleh karena itu, sunnah lebih fleksibel dan terkadang dikerjakan untuk memperoleh keistimewaan dan manfaat tertentu.

Kaidah diatas maksudnya adalah melaksanakan suatu perbuatan yang disyariatkan sunnah, dalam pelaksanaannya lebih luas daripada melaksanakan suatu perbuatan yang disyariatkan pada perbuatan yang wajib atau fardhu.[2] Beberapa aplikasi dari kaidah ini adalah:

  1. Melakukan shalat sunnah bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang diperbolehkan (tidak dalam rangka kemaksiatan) dapat dilakukan tanpa menghadap kiblat. Toleransi ini tidak berlaku dalam sholat fardhu dan pada sholat sunnah yang tidak dalam kondisi bepergian.
  2. Tidak dibolehkan melakukan satu tayamum untuk beberapa kali shalat fardhu. Sedangkan shalat sunnah dapat dikerjakan dengan tayamum yang sudah digunakan untuk sholat fardhu. Satu tayamum juga diperbolehkan untuk beberapa kali mengerjakan shalat sunnah.[3]
  3. Menjalankan puasa sunnah boleh diniati diwaktu pagi hari, namun puasa fardhu harus diniati sebelum waktu subuh tiba.[4]

Meskipun secara umum, ketentuan-ketentuan dalam ibadah sunnah lebih lentur atau fleksibel daripada ibadah fardhu, namun terdapat beberapa aktivitas sunnah yang dianggap lebih sempit ketentuannya dibanding dengan fardhu. Konsep ini merujuk pada ketentuan kaidah “Hal-hal yang dibolehkan dalam kondisi darurat, pemenuhannya diseseuaikan dengan kadar situasi darurat yang menyebabkannya”. Berikut adalah pengecualian dari kaidah diatas:

  1. Dalam kondisi terpaksa atau darurat dibolehkan memakan bangkai yang dalam kondisi normal diharamkan. Dalam konteks ini, memakan bangkai ditolerir sebatas yang wajib saja, sedangkan yang sunnah misalnya untuk lebih membuat kenyang tidak diperbolehkan.
  2. Bagi orang yang tidak menemukan alat bersuci, wajib melaksanakan shalat fardhu tanpa bersuci. Namun dalam shalat sunnah perbuatan tersebut tidak diperbolehkan.
  3. Bagi seseorang yang tidak menjumpai sesuatu apapun untuk menutup aurat, ia diwajibkan untuk melumuri tubuhnya dengan lumpur guna melaksanakan shalat fardhu. Perbuatan tersebut tidak berlaku untuk untuk mengerjakan shalat sunnah.
  4. Tidak dimakruhkan menahan hadats dalam pelaksanaan shalat fardhu, tetapi makruh hukumnya menahan hadats dalam melaksanakan shalat sunnah.[5]
  5. KAIDAH KE- 32

الْوِلاَيَةُ الْخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الْوِلاَيَةِ الْعَامَّةِ

“ Wilayah (kekuasaan) khusus lebih kuat daripada wilayah umum”

Menurut kaidah ini, suatu perkara atau sesuatu benda yang berada di bawah kekuasaan, maka pemegang kekuasaan yang khusus terhadap perkara atau benda tersebut mempunyai kedudukan dan wewenang yang lebih kuat daripada penguasa umum, yang kekuasaannya meliputi terhadap perkara dan benda tersebut. Oleh karenanya selama masih ada dan berfungsi penguasa khusus, penguasa umum tidak boleh bertindak mengenai perkara atau benda tersebut.[6]

Dalil atau dasar dari kaidah ini adalah terinspirasi dari hadits Nabi SAW ;

السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

“Seorang sulthan adalah wali anak yang tidak mempunyai wali (sesungguhnya)”[7]

Kata al-sulthan pada awalnya hanya berarti orang yang menduduki jabatan tertinggi, dalam hadits ini menurut Syaikh Yasin, akan memasukan Qadhi ke dalamnya. Dengan pernyataan ini, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa apabila masih ada seorang wali yang mempunyai wilayah khusus, maka seorang hakim atau qadhi yang mempunyai kekuasan umum tidak berwenang melakukan hal-hal yang menjadi wewenang seorang wali khusus.[8] Seorang yang berstatus sebagai qadhi atau semacamnya hanya memiliki kewenangan pada saat tertentu, diantaranya pada saat wali khusus tidak ada.

Dalam tataran praktis, seorang qadhi tidak memiliki kewenangan atas seorang anak jika masih ada orang tua atau kakek. Sebab, walaupun qadhi memiliki kekuasaan di wilayah yudisial, tapi kekuasaannya masih sangat umum, sehingga jika bapak atau kakek masih hidup maka kekuasaan qadhi secara otomatis menjadi terhalang.

Beberapa contoh dari kaidah diatas adalah:

  1. Wewenang untuk mengelola harta dan pernikahan. Sebagaimana kekuasaan seorang ayah terhadap anaknya. Ini mengandung pengertian bahwa seorang ayah memiliki wewenang yang cukup luas terhadap anaknya, yang mencakup permasalahan harta benda maupun kewenangan pernikahan.
  2. Wilayah (perwalian) dalam menuntut atau menggugurkan pelaksanaan diyat.[9]
  1. KAIDAH KE- 33

لاَ عِبْرَةَ بِالظَّنِّ الْبَيِّنِ خَطَؤُهُ

“Tidak ada pembenaran bagi dugaan yang terbukti keliru”

  1. Pengertian Kaidah

Dalam pergumulan hidup sehari-hari, tidak jarang sesuatu yang diasumsikan sebagai kebenaran, ternyata tidak sesuai dengan realitas. Dis-asumsi ini memang sudah menjadi karakter dasar manusia yang cenderung terburu-buru dalam membangun persepsi.

Dalam konstruk yurisprudensi Islam (baca : fiqh), permasalahan mengenai prasangka, praduga, persepsi, atau asumsi seorang muslim menempati posisi sangat strategis. Sebab, dengan dasar itulah, aktivitas ibadah, mu’amalah, dan vonis kehakiman yang diambilnya bisa mendapat legitimasi syariat. Akan tetapi, bukan berarti setiap praduga (zhan) bisa dijadikan landasan. Karena itu, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa zhan dapat dijadikan pijakan jika sesuai dengan realitas-praktis (nafs al-amr). Zhan yang jelas-jelas salah; al-bayyin khatha’uhu akan dikesampingkan sama sekali.

Secara sederhana, zhan hanyalah sebuah prasangka atau persepsi yang terbangun dalam fikiran manusia. Dalam perspektif fiqh, zhan mempunyai makna yang lebih spesifik. Mengutip Muhammad Shidqi bin Ahmad dalam al-Wajiz nya. Zhan merupakan buah dari kreativitas pikiran manusia dalam menarik titik simpul yang lebih kuat diantara dua  pilihan, berdasarkan dalil-dalil yang diperhitungkan syariat.[10]

  1. Dasar Kaidah

Allah swt. telah memberi sinyal kepada kita untuk selalu meningkatkan kewaspadaan, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya :

 “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”

Dalam ayat diatas, Allah swt. melarang kita terlalu menuruti persangkaan, namun tidak melarang secara mutlak untuk mengikuti zhan. Hal ini menyiratkan bahwa dugaan, prakiraan, asumsi, persepsi, atau yang sejenisnya, sebenarnya memiliki dua karakter yang bertolak belakang. Dalam beberapa bagian, prasangka dianggap baik dan dapat digunakan sebagai pijakan untuk menentukan sebuah keputusan. Sebagaimana yang diberlakukan dalam proses penganalogian (qiyas) terhadap obyek hukum yang tidak memiliki landasan nash yang jelas, banyak sekali ketetapan hukum syariat yang dicetuskan dari persangkaan-persangkaan.

Namun disaat yang lain, prasangka dapat menjadikan pelakunya tergolomg sebagai pelaku dosa, terutama sesuai dengan konteks yang melatarbelakangi turunnya ayat di muka. Jika berupa pergunjingan terhadap kejelekan orang lain. Prasangka semacam ini adalam prasangka yang tidak memiliki dasar yang kuat untuk dijadikan pegangan dan hanya rabaan saja.

Dengan begitu, persangkaan selalu menawarkan dua kemungkinan akibat, valid atau meleset. Karena karakternya yang masih remang-remang semacam ini, turun ayat dimuka. Yang mendorong untuk tidak terlalu banyak menggunakan persangkaan dalam memutuskan atau memvonis segala sesuatu. Jika mungkin untuk menuju pada keyakinan, maka sangat ditekankan untuk dapat menggapainya. Jikapun tidak, harus ada unsur-unsur yang menjadi penguat bahwa persangkaan tersebut condong kepada kebenaran. Nabi saw. Bersabda :

“kamu semua hendaknya menghindari segala prasangka, karena sesugguhya prasangka adalah cerita hati yang paling dusta.

  1. Cakupan Kaidah
  2. Ijtihadiyyah

Apabila seorang mujtahid telah mencetuskan satu produk hukum sesuai ijtihadnya, akan tetapi dalam perkembangannya ia mendapati dalil lain yang lebih kuat dan nyata-nyata bertentangan dengan apa yang telah ia cetuskan sebelumnya, maka keputusan pertama itu harus ditarik kembali dan dibatalkan. Sang mujtahid harus berpegang pada dalil kedua sebagai landasan hukum.

  1. Peradilan (qadlaya)

Obyek persoalan yang tercakup dalam masalah qadlaya, antara lain seperti keputusan yang diambil seorang hakim atas sebuah delik pengaduan. Jika keputusan itu diambil berdasarkan bukti-bukti otentik yang mendorong timbulnya dugaan kuat bahwa keputusan tersebut adalah benar, maka ia harus dipatuhi. Akan tetapi, bila terdapat fakta baru yang membuktikan bahwa keputusan itu tidak sesuai kenyataan, maka ia batal secara hukum dan harus dianulir. Misalnya, saksi yang dihadirkan ternyata orang gila (majnun).Padahal orang gila tidak memenuhi kriteria untuk menjadi saksi. Seorang saksi haruslah orang yang telah baligh dan berakal sehat.

  1. Mu’amalah

Contoh pada persoalan mu’amalah yaitu, bila seorang kreditur (madin) saat membayar hutang-hutangnya kepada debitu (da’in) ternyata telah ditanggung dan dilunasi oleh orang lain (kafil), maka si kreditur berhak menarik kembali uang yang telah ia serahkan. Sebab, nyata-nyata hutangnya telah lunas.[11]

  1. Implikasi Salah Sangka

Secara global terdapat beberapa implikasi-implikasi yang timbul dari asumsi semacam ini. implikasi tersebut antara lain dipaparkan oleh al-Hishni sebagai berikut:

  1. Kesalahan asumsi yang menjadikannya tidak diperhitungkan dan sama sekali tidak memberi pengaruh Contoh :
  • Orang yang mendirikan shalat karena mengira bahwa maktunya telah tiba, jika didapati kenyataan yang sebaliknya, maka shalat yang telah dilakukan harus diulangi kembali.
  • Bersuci dengan air yang dianggap suci, jika dalam masa berikutnya diketahui diketahui bahwa air itu najis, maka proses besuci itu tidak dihukumi sah.
  • Seseorang melakukan i’tikaf di suatu tempat yang menururut dugaannya adalah masjid, i’tikafnya tidak sah jika ternyata tempat itu merpakan bangunan milik orang lain.
  1. Dugaan yang keliru namun masih berpengaruh terhadap hal-hal yang menjadi konsekuensinya. Beberapa kalangan menjadikan ini pengecualian kaidah. Beberapa hal yang termasuk di dalamnya adalah :
  • Jika kita bermakmum kepada seseorang yang menurut dugaan kita telah suci dari dari hadats maupun najis, tapi beberapa saat berikutnya kita mengetahui bahwa orang tersebut berhadats, maka shalat yang kita kerjakan tetap sah meskipun didirikan atas persepsi yang keliru. Kecuali itu berupa shalat jum’at.
  • Seorang suami yang mengucapkan perkataan talak terhadap wanita yang dalam asumsinya adalah orang lain, karena kondisi gelap atau berada di balik tirai, jika kemudian diketahui bahwa wanita itu adalah istrinya sendiri, maka talaknya tetap berlangsung meski ia melakukannya berdasarkan dugaan yang tidak benar.
  1. Kesalahan asumsi yang masih diperselisihkan pengaruhnya terhadap aktivitas yang dilakukan. Sebagai gambaran cermati contoh

Suatu ketika dalam suasana perang, kaum muslimin melihat bayangan hitam yang menyeruoai sekawanan musuh yang menumbuhkan kekhawatiran di benak mereka. Karenanya, dilaksanakanlah shalat syiddah al-khawf karena waktu itu shalat harus segera didirikan. Setelah shalat selesai, selidik punya selidik ternyata bayangan hitam tadi bukanlah kawanan musuh, tapi segerombolan kambing yang pulang kemalaman. Lalu bagaimana shalat yang telah dikerjakan dengan bentuk syiddah al-khawf ini, wajib diulangi atau tidak, terjadi silang pendapat menyikapi kejadian ini. sebagian ulama mewajibkan diulanginya shalat tersebut karena jelas-jelas dilakukan dalam persepsi keliru dan tidak ada kondisi darurat yang mendorong dilakukannya shalat syiddah al-khawf. Namun ulama lainnya berpendapat bahwa pengulangan shalat tidak diperlukan, karena format shalat syiddah al-khawf  sangat bergantung pada suasana batin yang diliputi kecemasan, dan itu memang sudah terjadi pada waktu shalat tersebut dikerjakan.

  1. KAIDAH KE – 34

اَلْاِشْتِغَاِل بِغَيْرِالْمَقْصُوْدِ إِعْرَضُ عَنِ الْمَقْصُوْدِ

               “ Berbuat yang bukan dimaksud, berarti berpaling dari yang dimaksud. (sehingga karenanya batal yang yang dimaksud) “.

Menurut kaidah, bahwa suatu perbuatan yang dikerjakan tanpa suatu maksud tertentu, maka terhadapnya (perbuatannya) itu tidak dapat dihukumkan kepada maksud tertentu.

Berpaling dari orang lain adalah bahasa tubuh (hal; body language) yang menunjukkan rasa tidak suka, takut, acuh tak acuh, antipati, dan sebagainya. Dalam tataran hukum formal, “berpaling” – dalam tanda kutip – dapat pula berupa ketidaksigapan seseorang dalam menyikapi masalah yang sedang ia hadapi. Begitu ia tidak mengambil sikap yang seharusnya ia lakukan, ia sudah dianggap “berpaling” dari apa yang sebenarnya menjadi tujuan awalnya. Yang dimaksud berpaling disini adalah tidak menghiraukan apa yang sebenarnya menjadi tujuan awal pekerjaannya. Dengan tidak adanya kesigapan dan tidak hirau, dalam tataran hukum, ia telah dianggap tidak memperdulikan apa yang seharusnya menjadi haknya. [12]

Contoh kaidah :

  1. Orang bersumpah tidak bertempat tinggal pada suatu rumah. Kalau setelah bersumpah itu dia mondar-mandir di rumah tersebut. Berarti dia telah melanggar sumpahnya. Tetapi kalau dia mondar-mandir itu karena sibuk mengumpulkan barang-barangnya karena kepindahannya, maka dia tidak melanggar sumpah.
  2. Orang berusaha mengambil syuf’ah. Pada waktu berjumpa dengan orang yang telah membelinya, dia berkata: kamu beli dengan harga berapa? Atau: “apakah kamu telah membelinya dengan harga murah?”. Disini hak syuf’ah menjadi gugur, sebab mengambil syuf’ah harus segera.[13]

Batasan “Berpaling”

               Secara cerdas, Zarkasyi membagi i’radl ini menurut tinjauan jenis kepemilikan. Menurutnya, jika status kepemilikan seseorang adalah kepemilikan yang lazim (tetap), maka kepemilikannya ini tidak gugur disebabkan “berpaling”. Seperti halnya ucapan salah satu diantara dua orang anak yang memilikihak warisan : “Aku tidak akan mengambil bagianku.” Maka ke-berpalingan semacam ini tidak menggugurkan hak warisnya. Sebab apa yang seharusnya ia warisi merupakan hal yang bersifat lazim (tetap). Kecuali jika ia berekinginan untuk menggugurkan warisnya, dan yang ingin dimilkinya adalah warisan berupa uang, makaharus ada serterima antara dirinya dan orang yang akan menggantikan posisinya sebagai penerima warisan;tidak hanya ungkapan bahwa ia tidak akan mengambilnya, seperti yang terjadi dalam kasus ini. Jika yang dimilkinya berupa hutang, maka harus ada proses pembebasan hutang; tidak hanya sekadar ungkapan bahwa ia tidak akan ditagih, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Jika dicermati dengan seksama, contoh yang diajukan Zarkasyi dimuka agaknya merupakan pengecualian (mustatsnayat) dari kaidah yang sedang kita kaji. Sebab didalamnya tidak terjadi pengguran hak walalupun pemiliknya “berpaling”.

  1. KAIDAH KE – 35

لاَيُنْكَرُالْمُخْتَلَفَ فِيْهِ وَاِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

               “ tidak diingkari perbuatan yang diperselisihkan (hukum haramnya), dan sesungguhnya yang diingkari ialah yang telah disepakati (hukum haramnya)”.

Kaidah ini memiliki nilai yang sangat penting, karena berhubungan dengan reputasi para mujtahid, saat terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam dianatara mereka. Padahal perbedaan adalah hal yang wajar terjadi dalam kancah dunia keilmuan, khusunya ilmu fiqh. Disini, kita tidak boleh memberikan penilaian subjektif atas pendapat mereka, dengan menilai pendapat salah seorang mujtahid lebih utama, karena kebetulan pendapatnya sesuai anagn-angan, pemikiran, keinginan, atau kepentingan kita.

Ketidakbolehan mengingkari hal-hal yang masih dipertentangkan (mukhtalaf fih) ini, karena pada dasarnya pendapat ulama yang berpendapat tentang keharaman sesuatu tidaklah tidaklah lebih utama dibandingkan ulama yang berpendapat halal. [14]

Menurut kaidah ini seseorang tidak dianggap berbuat perbuatan yang munkar, sehingga karenanya wajib diingkari (dilarang) kalau perbuatan yang dikerjakan itu hukum haramnya diperselisihkan. Tetapi baru dianggap munkar dan wajib diingkari (dicegah) kalau perbuatan tersebut keharamannya telah disepakati.[15]

Maksud disini adalah bahwa segala masalah yang telah menjadi kesepakatan atau tidak ada ikhtilaf didalamnya, tentang sesuatu hukum haram. Maka harus kita jauhi benar – benar. Sedangkan masalah yang masih ikhtilaf kita tidak wajib ingkar kepadanya.

Contoh kaidah :

  1. Sebagaimana pendapat Syafi’i yang menyatakan keharaman arak yang terbuat dari bahan selain dari perasan anggur (nabidz). Tidak dapat dikatakan lebih utama, istimewa, dan sebaginya. Dibandingkan dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan kehalalannya. Ketentuan ini (tidak wajib mengingkari yang mukhtalaf fih) karena pada dasarnya pengingkaran yang wajib dilakukan hanya dapat dibenarkan pada hal-hal yang sudah disepakati keharamannya (mujma’ alaih) diantara para ulama.

Sedangkan ingkar yang dianjurkan (mandub) tidak terbatas pada hal-hal yang disepakati keharamannya. Jika ingkar yang wajibhanya menjangkau pada hal-hal yang sepakat diharamkan, maka untuk ingkar yang sunah juga berlaku pada hal-hal yang masih dipertentangkan ulama. Ingkar yang sunah ini dapat dilakukan dasar menasehati atau menganjurkan orang lain agar melakukan tindakan keluar dari perbedaan (khuruj minal khilaf).

Lebih menjelaskan tentang hal ini, syeikh Zakaria dalam Asn al-Muthalib menyatakan, ingkar jenis ini dianggap sunah hanya ketika tidak sampai menyebabkan pada khilaf yang lain, dan tidak berisiko meninggalkan sunah yang telah baku (tsbaitah). Karena pengingkaran dengan dua latarbelakang yang telah disebutkan ini adalah tindakan yang sunah dilakukan berdasarkan kesepakatan ulama.

Bagi orang yang khawatir timbulnya resiko buruk pada dirinya jika melakukan pengingkaran yang sunah ini, maka ia harus menggunakan ungkapan yang halus ini juga berlaku jika melakukan pengingkaran pada orang awam. Karena dengan metode ini keduanya akan mudah menerima dengan lapang dada terhadap maksud baik untuk mencegah dan menghilangkan perbuatan munkar.

Pengecualian Kaidah

  1. Lemahnya dalil yang dijadikan pijakan hukumsebuah pendapat. Maksud dari lemah disini adalah ketika pendapat seorang imam menurut mayoritas ulama sangat jauh dari kebenaran. Hingga apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan menggunakan hukum dari pendapat yang lemah pengambilan dalilnya, maka putusan hakim itu bisa dibatalkan.
  2. Dalam pengadilan, yang dijadikan sandaran adalah pendapat yang dijadikan pedoman seorang hakim (madzhab al-hakim), bukan pendapat pelaku. Jika dalam uraian sebelumnya disebutkan bahwa tentang halal atau tidaknya satu perbuatan berdasarkan apa yang diyakini pelaku. Namun, dalam maslah peradilan adalah sebaliknya; yang dijadikan pedoman adalah apa yang dianut hakim. Dengan demikian, jika ada seorang penganut madzhab Hanafi yang meminum nabidz yang meyakini kehalalannya, dihadapkan pada seorang hakim yang bermadzhab Syafi’i yang meyakini keharamannya, maka ia tetap dapat dijatuhi hukuman. Namun, dalam hal ini ada batasan khusus yang dismapaikan oleh Ibnu Qasim, bahwa apabila ada seorang yang melakukan pelanggaran, maka seorang hakim atau mufti tidak dibolehlan berselisih paham dengan pelaku dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan nash, ijma’, atau qiyas jali.[16]

Kiranya perlu diketahui tentang syarat-syarat ingkar yang wajib maupun sunah. Yakni, ingkar yang dialkukan tidak mendatangkan fitnah atau mudlarat. Apabila diyakini atau ada praduga kuat bahwa pengingkaran yang dilakukan akan memantiktimbulnya fitnah, maka hukum mengingkari tidak wajib juga tidak sunah, bahkan bisa berubah menjadi haram. Tindakan yang patut dilakukanhanyalah tidak mendatangi tempat yang didalmnya terdapat kemungkaran. Ia wajib terus berada di rumah dan dilarang keluar kecuali karena kebutuhan mendesak (dlarurah).

Satu catatn lagi, bahwa tidak diwajibkan berpindah tempat, kecuali jika ia tetap bertahan maka akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, dan dengan berpindah tempat akan menjadikan orang yang melakaukan perbuatan munkar akan menerima nasihatnya jika tidak ada asumsi kuat (zhan) ajakannya ditanggapi, baik ada prasangka kuat atau ragu (syak) bahwa ajakannya tidak ditanggapi, maka ia tidak diwajibkan melakukan pengingkaran.

Terakhir, jika tindakan pengingkaran sudah berstatus tidak wajib, sementara ia tidak khawatir akan timbulnya fitnah (bahaya), makadisunahkan melakukan pengingkaran sebagai syiar Islam.

[1] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: Khalista, 2006), hal. 291.

[2] Wahyu Setiawan, Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: AMZAH, 2013), hal 168.

[3] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, …. hal. 294.

[4]Wahyu Setiawan, Qawaid Fiqhiyyah, …. hal 168.

[5] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, …. hal. 295.

[6] Wahyu Setiawan, Qawaid Fiqhiyyah, …. hal 169.

[7] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, …. hal. 298.

[8] Abu Faydh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Cet. I, hal. 568.

[9] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, …. hal. 303.

[10]Abdul hak dkk,  Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya : Khalista, 2006), hal. 307

[11]Abdul hak dkk,  Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya : Khalista, 2006), hal. 309

[12] Abdul hak dkk,  Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya : Khalista, 2006), hl. 315

[13] Drs. H. Abdul Midjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta:Kalam Mulia, 2001). Hl. 95

[14] Abdul hak dkk,  Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya : Khalista, 2006), hl. 318

[15] ibid, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Hl. 95

[16] Abdul hak dkk,  Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya : Khalista, 2006), hl. 321

Tinggalkan komentar